Oleh : Muhammad Nashir Syam
Anggota FKUB Ketapang
Nama aslinya adalah Siddhartha marga Gautama dari suku Sakya, seorang pangeran-putra Raja Kapilavastu di Timur Laut India. Diperkirakan lahir pada tahun 563 SM di Lumbini yang kini masuk wilayah negara Nepal.
Menikah ketika usianya baru saja 16 tahun dengan sepupunya sendiri. Dan di usianya yang ke-29 ia dikaruniai seorang anak, pada saat yang sama ia harus memutuskan sesuatu yang amat “spektakuler” yakni harus meninggalkan semua kemewahan istana, menanggalkan harta benda dan tahta termasuk berpisah dengan keluarga, untuk “menghambakan diri” kepada upaya pencarian kebenaran sejati.
Sampailah kemudian di sebuah tempat, ia rehat di bawah pohon (pohon Bodhi) yang amat rindang, berdaun lebar dan berbuahkan semacam buah pir yang sarat biji. Maka setelah tujuh hari ia tak beranjak dari pohon itu, terpecahkan olehnya semua teka-teki dan misteri kehidupan yang selama ini membayangi kehidupannya (baca : “perjalanan spiritual”). Seterusnya ia menyebut dirinya “Sang Budhha” yang artinya “orang yang diberi penerangan”.
Menelisik kisah perjalanan keruhaniannya, Penulis ingat pada kisah perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW. Yang rentang kehidupan dengan Sang Buddha berjarak kira-kira 12 abad. Sebagaimana Siddharta Gautama alias Sang Buddha, Muhammad merasakan “kegelisahan” yang teramat dalam ; melihat dengan kasat mata, merasakan dengan nuraninya yang amat halus akan kebobrokan moral bangsanya saat itu. Dengan mendapatkan dukungan moril dan materil dari sang isteri setia, ia memisahkan diri dari pergaulan dengan kaumnya, menyepi (bertahannus) di sebuah gua, yaitu Gua Hira’.
Dan berawal dari Gua Hira’ inilah misi kerasulannya dimulai. Ia menerima wahyu dari Tuhan untuk membebaskan umat dari kebodohan (jahiliyah) menuntun dari kegelapan menuju terang benderang (minazh zhulumati ilannur). Tapi berbeda dengan Siddharta yang menemukan “pencerahan” setelah ia meninggalkan keluarga, menanggalkan harta dan tahta. Justeru Nabi Muhammad SAW menerima pencerahan dari Tuhan (yaitu wahyu) dengan tetap start dari rumah, dan bahkan isterinya (yaitu Sayyidah Khadijah) setia mendampingi misi dakwahnya sampai ajal menjemput.
Sang Buddha adalah seorang moralis ; pikiran, hati, ucapan dan perilakunya sarat dengan pesan-pesan moral yang tinggi. Ajarannya tentang kasih sayang pada sesama makhluk dan lingkungan alam sekitar tetap relevan dengan praktik-praktik kehidupan umat manusia sepanjang masa. Memang ajarannya yang sarat dengan pesan moral pada saat itu, tidak sempat terbukukan, baru beberapa abad kemudian ditulis oleh penganutnya kemudian terkumpul dalam sebuah kitab yang mereka muliakan sampai sekarang.
Pokok ajarannya terangkum dalam apa yang disebut penganutnya dengan “Empat kebenaran mulia atau empat kebenaran hakiki”.
Pertama, pada dasarnya kehidupan manusia itu selalu diliputi ketidakpuasan (dukkha) dan penderitaan. Kedua, sebab-musabab ketidakbahagiaan itu adalah karena memikirkan kepentingan diri sendiri serta terbelengu oleh nafsu. Ketiga, pemikiran kepentingan diri sendiri dan nafsu dapat ditekan habis bilamana segala nafsu dan hasrat dapat ditiadakan (dalam ajaran Buddha disebut “nirvana”). Keempat, menimbang benar, berpikir benar, berbicara benar, berbuat benar, mencari nafkah benar, berusaha benar, mengingat benar dan meditasi benar. Ajaran-ajaran Buddha terbuka untuk siapapun, dari ras atau bangsa apapun dan tidak boleh ada paksaan dalam bentuk apapun.
Pancasila adalah sumber moralitas Sang Buddha
Dalam Dhammapada, Syair : 110 dikatakan : “Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi memiliki kelakuan buruk dan tak terkendali, sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang memiliki sila dan tekun bersamadhi”
Apakah sila itu ? Sila ialah moralitas dan etika yang menjadi sebuah kewajiban bagi semua umat manusia. Dalam Bahasa lain aspek horisontal atau dalam terminology Islam sering disebut sebagai hablum minannas. Sedangkan “bersamadhi” adalah bagian dari ritual mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, berarti aspek vertical atau dalam terminology Islam lazim disebut hablumminallah. Pada aspek ke-dua ini tentu tidak akan menyambung dengan akidah Islam, karena ini terkait dengan persoalan teologis yang fundamental dan sensitive. Tapi akan menyambung apabila kita bahas tentang “sila” sebagaimana yang tersebut dalam buku suci mereka.
Bagi umat Buddha, sila itu ada lima. Maka mereka biasa juga menyebut “Pancasila” atau lima sila.
Sila pertama : aku bertekad melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup .
Sila kedua : aku bertekad melatih diri menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan.
Sila ketiga : aku bertekad melatih diri menghindari perbuatan asusila.
Sila keempat : aku bertekad melatih diri menghindari ucapan bohong.
Sila kelima : aku bertekad melatih diri menghindari minuman memabukkan hasil penyulingan atau peragian yang menyebabkan lemahnya kesadaran.
Pancasila dalam konsep Buddha bertujuan untuk melatih kesadaran dan kewaspadaan terhadap segala hal yang dapat memperlemah pengendalian diri. Jika mempraktekkan Pancasila secara tekun dan konsisten maka akan dapat meningkatkan pengendalian diri. Dengan memiliki pengendalian diri maka kedamaian dan kebahagiaan dalam masyarakat akan terwujud serta titik awal kepada perkembangan spiritual menuju kebahagiaan tertinggi atau “nibbana”.
Sebab terdekat dari pelaksanaan Pancasila adalah rasa malu untuk melakukan tindakan tidak terpuji (hiri) dan rasa takut akan akibat tindakan tidak terpuji (ottapa).
Sampai di sini ada benang merah, antara puncak pesan moral Buddha dengan Islam. Konsep Pancasila yakni tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzina, tidak dusta dan tidak mabuk. Adalah perilaku yang menurut kacamata Islam termasuk akbaril kabairi (sebagian dari dosa besar dari dosa-dosa yang besar). Di dalam Alkitab Perjanjian Lama khususnya di Keluaran 20 : 2-17 juga di Ulangan 5 : 6-21 tentang “Sepuluh Perintah Tuhan” atau The Ten Commandments perilaku-perilaku tersebut termasuk larangan keras, yang wajib dihindari oleh umat Yahudi dan Kristiani.
Adapun “nibbana” menurut ajaran Buddhis kemungkinan dalam kacamata Islam adalah orang yang sudah mencapai puncak “insan al-kamil” atau manusia yang sempurna. Sedangkan Tindakan terpuji atau hiri dalam Islam disebut dengan akhlak mahmudah. Tindakan tidak terpuji atau ottapa, dalam Islam disebut akhlak madzmumah. Dan ternyata pula puncak moralitas Buddha itu diikhtiari dengan rasa malu, yang dalam konsep Islam rasa malu itu justeru bahagian dari iman.
Pesan-pesan moral Sang Buddha menyebutkan bahwa etika merupakan inti dari ajarannya; ada tuntunan bagi para pemeluk atau pengikutnya untuk senantiasa berbuat baik. Baik ketika dalam situasi sendirian maupun ketika bersama orang lain. Adapun pesan moral dari Nabi Muhammad SAW sudah jelas, “Aku diutus untuk menyempurnakan Akhlak yang mulia”. Lagi dan lagi, dua pesan moral ini bertemu pada satu titik.
*) Pada tahun 1992 pernah belajar Agama Buddha pada seorang Bhikkhu yang Bernama Bhikkuni Dharmaganta Terry di Wihara Buddhasasana di Cirebon Jawa Barat.
Discussion about this post