Pontianak – fkub-kalbar.or.id, Manusia diproses dan diciptakan dalam bentuknya yang sempurna. Oleh karenananya, Memuliakan manusia, berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan meninstakan penciptanya.
Hal ini disampaikan oleh Dra.Hj Sangadah Pengurus FKUB Kalimantan Barat saat menjadi narasumber dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Series Keenam dengan tema “ Merawat Kerukunan Dalam Pandangan Agama Buddha Songsong Pesta Demokrasi 2024”, Rabu, 26/10 pagi bertempat di Aula Sekretariat FKUB Kalbar dan akan disiarkan secara langsung melalui Laman Fanspage FKUB Kalbar.
Menurutnya, kerukunan tidak akan terwujud apabila tanpa adanya toleransi. Toleransi mengandung pengertian adanya sikap seseorang untuk menerima perasaan, kebiasaan, pendapat atau kepercayaan yang berbeda dengan yang dimilikinya.
Dirinya mengutip Susan Mendus dalam bukunya, Toleration and the Limit of Liberalism membagi toleransi menjadi dua macam ;
Pertama, Toleransi negatif (negative interpretation of tolerance), menyatakan bahwa toleransi itu hanya mensyaratkan cukup dengan membiarkan dan tidak menyakiti orang/kelompok lain.
Kedua, Toleransi positif (positive interpretation of tolerance), menyatakan bahwa toleransi melebihi dari makna yang pertama juga meliputi juga bantuan dan kerjasama dengan kelompok lain. Konsep toleransi positif inilah yang dikembangkan dalam hubungan sosial di negara ini dengan istilah kerukunan (harmony).
Kerukunan beragama adalah keadaan hubungan antarumat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian dan saling menghormati dalam pengamalan ajaran agama serta kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat.
Eksistensi kerukunan ini sangat penitng, di samping karena merupakan keniscayaan dalam konteks perlindungan hak asasi manusia (HAM), juga karena kerukunan ini menjadi prasyarat bagi terwujudnya integrasi nasional, dan integrasi ini menjadi prasyarat bagi keberhasilan pembangunan nasional.
Kerukunan umat beragama itu ditentukan oleh dua faktor, yakni sikap dan prilaku umat beragama serta kebijakan negara/pemerintah yang kondusif bagi kerukunan.
“Semua agama mengajarkan kerukunan ini, sehingga agama idealnya berfungsi sebagai faktor integratif. Dan dalam kenyataannya, hubungan antarpemeluk agama di Indoensia selama ini sangat harmonis.” Ujarnya.
Hanya saja, di era reformasi, yang notabene mendukung kebebasan ini, muncul berbagai ekspresi kebebasan, baik dalam bentuk pikiran, ideologi politik, faham keagamaan, maupun dalam ekspresi hak-hak asasi. Dalam iklim seperti ini mucul pula ekspresi kelompok yang berfaham radikal atau intoleran.
Kebijakan negara Indonesia tentang hubungan antaragama termasuk yang terbaik dan menjadi model di dunia. Hanya saja, sebagian oknum pemerintah di daerah dengan pertimbangan politik kadang-kadang mendukung sikap intoleran kelompok tertentu atas nama pemenuhan aspirasi kelompok karena kepentingan tertentu.
Konflik antar-umat beragama umumnya tidak murni disebabkan oleh faktor agama, tetapi oleh faktor politik, ekonomi atau lainnya yang kemudian dikaitkan dengan agama.
Permasalahan yang terkait dengan persoalan agama, di samping karena munculnya sikap keagamaan secara radikal dan intoleran pada sebagian kecil kelompok agama, juga dipicu oleh persoalan tentang pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama serta tuduhan penodaan agama.
Persoalan pendirian rumah ibadah merupakan faktor yang paling banyak mempengaruhi terjadinya perselisihan atau sikap intoleransi. Harus ada kejelasan landasan hukum dan perlindungan dari apparat penegak hukum.
Sedangkan persoalan konflik dan ketegangan internal agama, umumnya dipicu oleh adanya perbedaan paham keagamaan dalam hal yang sangat mendasar (pokok-pokok ajaran agama) dan munculnya aliran kepercayaan (cult) yang mengaitkan dirinya dengan agama resmi di Indonesia, serta penghinaan terhadap agama.
Jika kasus-kasus semacam di atas terus berlangsung, dikhawatirkan kondisi kerukunan umat beragama ini akan rusak. Oleh karena itu, penguatan kerukunan dan toleransi itu perlu terus-menerus dilakukan, teterutama melalui sosialisasi pemahaman keagamaan yang moderat dan menekankan pentingnya toleransi dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Juga, perlu dilakukan upaya-upaya penguatan wawasan kebangsaan dan integrasi nasional, yang meliputi sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebhinnekaan. Dan tak kalah pentingnya adalah penguatan kesadaran dan penegakan hukum, baik bagi aparatur negara, tokoh politik maupun tokoh agama.
Perlu dilakukan pula upaya-upaya pencegahan konflik (conflict prevention) melalui peningkatan dialog antarumat beragama dengan melibatkan tokoh agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Sejalan dengan ini, perlu antisapasi dini terhadap potensi konflik atau ketegangan itu, sehingga potensi itu tidak berkembang menjadi konflik nyata dan kekerasan. Hal ini perlu disertai dengan langkah-langkah penyelesaian perselisihan atau konflik yang terjadi melalui musyawarah atau mediasi dengan melibatkan FKUB. Sedangkan pemerintah (Pemda) menfasilitasinya sebagai bagian dari kewajibannya dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
Discussion about this post