Oleh : Muhammad Nashir Syam, M. Pd. I
(FKUB Kab. Ketapang)Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujurat ayat 13 :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat : 13).
Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dan berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling mencemoohkan, tetapi supaya saling mengenal dan menolong. Allah tidak menyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunan, kepangkatan, atau kekayaannya karena yang paling mulia di antara manusia di sisi Allah hanyalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya.
Dari ayat itupun jelaslah bahwa berbeda itu sebuah keniscayaan. Berbeda warna kulit, ras, suku bangsa, berbeda bahasa, berbeda adat budaya, dan bahkan berbeda agama dan keyakainan.
Yang terakhir ini, yang tadi saya sebutkan yakni berbeda agama dan keyakinan sering menjadi sebuah pemicu terjadi konflik baik vertical maupun horizontal. Saya yakin, perbedaan ras, suku dan budaya di tengah-tengah kemajemukan Indonesia sudah selesai. Tetapi berbeda agama dan keyakinan sekali lagi masih menjadi titik potensi konflik, yang sekali-kali bisa meletup ke permukaan. Oleh karenanya diperlukan kearifan dan kesadaran kolektif dari kita bersama bahwa berbeda itu sebuah keniscayaan atau dalam teks agama disebut dengan sunnatullah.
Sikap berlapang dada menerima segala perbedaan yang ada, dalam terminologi Islam dikenal dengan tasammuh atau lazim disebut toleransi. Kaitannya dengan perbedaan keyakinan agama, ada tiga macam kerukunan umat beragama. Yakni ; kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah.
Yang pertama adalah kerukunan intern umat beragama.
Pada setiap agama, khususnya Islam (misalnya) ada perbedaan dalam masalah fiqhiyah furu’iyah. Perbedaan itu terjadi bisa jadi dilatarbelakangi oleh cara pandang atau metodologi para ulama fiqih dalam mempersepsikan dan menginterpretasikan sebuah kasus hukum yang terjadi di tengah-tengah umat. Dan perbedaan ini pasti terjadi, bahkan nabi saw sendiri sudah memberikan sinyal pasti akan terjadi “ikhtilafu ummati rahmah” perbedaan pendapat di kalangan umatku sejatinya adalah rahmat. Perbedaan di intern umat beragama hendaknya dijadikan sebagai sebuah ruang terbuka untuk kita selalu belajar dan terus belajar, mencari titik temu demi maslahah ‘aammah atau kebaikan bersama.
Yang kedua adalah kerukunan antar umat beragama.
Setiap agama memiliki dogma yang pasti berbeda satu sama lain. Dogma adalah suatu keyakinan terhadap sesuatu yang tidak boleh diubah oleh adanya akal rasio atau pendapat atau ide manusia. Misalnya dalam hal teologi atau eksistensi ketuhanan beserta konsep ketuhanannya. Bahasan ini adalah termasuk bahasan yang tidak bisa ditolerir, sebab ini bersifat prinsip dan fundamental. Oleh karenanya, toleransi itu tidak berlaku dalam masalah akidah dan ibadah. Biarkan mereka dengan keyakinannya dan kita dengan keyakinan kita. Tetapi harus diakui pula bahwa pada dasarnya setiap agama itu memiliki aspek dan nilai-nilai kemanusiaan yang sama.
Pesan-pesan moral agar saling menghormati, saling menghargai satu sama lain, peduli terhadap lingkungan alam sekitar dan lain sebagainya. Nilai-nilai kemanusiaan yang sifatnya universal inilah yang mesti kita eratkan. Maka toleransi di sini dibenarkan dalam bidang sosial kemasyarakatan dan hubungan antar manusia atau mu’amalah.
Pesan-pesan moral kemanusiaan itu tercermin jelas misalnya pada sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tamunya…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam keterangan Hadits Arbain Syaikh Nawawi Al-Bantani dijelaskan bahwa tetangga dan tamu dalam teks hadits tersebut ditujukan untuk semua, baik muslim maupun non muslim.
Mari kita simak kalam ilahi surah Al-Hujurat :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim.”
Dalam surah Al-Hujurat pada ayat ke-11 Allah melarang kita saling merendahkan antar komunitas, karena merasa paling benar dari yang lain. Kemudian saling mencela dan bahkan memanggil dengan panggilan yang menyakitkan. Pada ayat ke-12 kita dilarang berburuk sangka, mencari-cari keburukan orang dan menggunjing (ghibah) satu sama lain.
Yang ketiga adalah kerukunan umat beragama dengan pemerintah.
Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” (QS. An-Nisaa ayat 59)
Ayat di atas sudah jelas mewajibkan kita untuk taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri. Kewajiban taat kepada Allah dan Rasul adalah kewajiban total dan bersifat mutlak, dan itu direfleksikan dengan ketaatan kita kepada para ulama. Karena para ulama-lah yang menyambung risalah perintah agama. Kemudian siapakah ulil amri itu ? Ulil amri adalah pemerintah. Kewajiban kita dalam hal ini tidaklah bersifat mutlak, perintah ulil amri wajib ditaati apabila sesuai dengan syariat agama dan tidak wajib mentaatinya apabila bertentangan dengan agama.
Imam Al-Ghazali dalam Kitabnya Ihya Ulumuddin menyebutkan sebuah hadits. Bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“Ada dua kelompok dari umatku, apabila keduanya baik, maka akan baiklah seluruh manusia, dan apabila keduanya rusak, maka akan rusaklah seluruh manusia. Dua kelompok itu adalah umara dan ulama”
Komunitas umat beragama dan pemerintah adalah dua komponen yang sangat penting. Apabila keduanya rukun, bekerjasama atau bersinergi maka akan menimbulkan maslahat bagi semua umat manusia. Apabila salah satu dari kedua komponen itu berseberangan atau dengan kata lain bermusuhan, maka kekacauanlah yang akan terjadi.
Ulama dan para tokoh agama dengan pemerintah haruslah rukun, saling bekerjasama, bersinergi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pemerintah wajib mendengarkan dan mentaati nasehat dan pertimbangan-pertimbangan konstruktif dan positif dari para ulama. Demikian pula ulama dan tokoh agama harus mempercayakan sepenuhnya teknis pembangunan materil di lapangan yang dilaksanakan pemerintah.
Mari kita tegakkan dan kuatkan kembali tiga pilar Tri Kerukunan dalam bingkai kemajemukan. Tri Kerukunan sebagaimana yang dimaksud adalah : Kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Dengan Tri Kerukunan itu insya Allah kita akan mencapai negeri yang Baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.
Discussion about this post